Sebuah cerpen yang gue ga sangka menempati peringkat 9 dari 300 cerpen yang dilombakan oleh Books for life
Cerita ini dibuat berdasarkan pada gambar berikut.
Cerita ini dibuat berdasarkan pada gambar berikut.
Seorang gadis berjongkok di sebelah lampu penyeberangan. Klakson mobil saling bersautan memecah lamunan. Gadis itu merogoh saku mantelnya. Ia menemukan sebuah kertas yang terlipat asal, perlahan ia membuka lipatannya.
jika
batang hidungmu tak nampak. kau mati dan menyesal malam ini
[10.01
p.m palapa street 23 blok H]
-Renan
Tangannya bergetar, ia meremas secarik
kertas itu, kemudian beranjak.
Angin berhembus mengibas rambut
panjang gadis itu. Di bawah gelapnya langit malam, ia berjalan, seolah tidak
ada rasa takut dalam dirinya. Sorot lampu toko yang berjajar sepanjang jalan,
cukup menjadi kekuatan untuk mempercepat laju langkahnya.
10 menit berlari, kini ia memasuki
jalan komplek, sorot lampu nyaris tidak ada, jalanan yang ramai berubah hening.
Ia berhenti di sebuah rumah yang berada di jalan palapa nomor 23 blok H. Rumah bertingkat
dengan sentuhan klasik barat. Taman disampingnya nampak cukup menawan, bertabur
bunga bernuansa putih, yang samar terlihat berkat sinar lampu taman yang hampir
redup.
Tiga mobil mewah terparkir disana.
Tidak seperti jalanan tadi, rumah yang berada tepat dihadapannya dipenuhi
cahaya. Gadis itu berjalan perlahan, mendekat pada rumah nan megah tersebut,
terdengar samar alunan musik dari dalam rumah. Tepat di depan pintu masuk. Ia
berhenti, mengecek waktu di jam tangannya, pukul 10.03 p.m. Ia membuka pintu itu
dan masuk.
Alunan musik terdengar semakin keras.
Lampu-lampu berkelip menyilaukan mata. Cukup banyak orang yang berada di
ruangan itu. Beberapa dari mereka hanyut dalam alunan musik, menari mengikuti
irama. Sebagian lain, asik mengobrol dengan pasangannya.
Ia membaca secarik kertas itu lagi. Kertas
berisi pesan yang membuatnya berlari ke tempat ini. Berbagai pertanyaan muncul
dalam benaknya. “Tempat apa ini?” “Apa
mungkin ini pesta, tapi pesta apa?” “Aku sudah datang, lalu…?” “Siapa mereka,
yang menari dan tertawa?” “Dan lagi… siapa Renan? yang mengancamku akan mati menyesal
jika tak datang”
Sejenak gadis itu tak dapat berkata
melihat keramaian di depannya.
[10.11 p.m.]
“Guys! helloooow!” dengan nada kaku, ia
akhirnya angkat bicara.
Tidak ada yang mendengar, suaranya
bagai tertelan kerasnya musik di ruangan itu.
Ia memutuskan melangkah, mendekati orang yang sedang menari.
“Ha hai…” ucapnya terbata pelan
kepada seorang wanita berbaju hitam ketat dan berambut pirang, Laki-laki
berkemeja abu-abu dengan kancing atas yang sengaja terbuka dan satu lagi,
wanita berbaju longgar bermotif. Ketiga orang yang sedang menari itu tak
memperdulikannya, mereka terus saja menari.
Sesuatu terasa ganjal, mengusik
pikirannya. Gadis itu melangkah lagi, memperkecil jarak dengan sosok
dihadapannya. jaraknya kini bahkan hanya berbeda satu langkah. Dahi gadis itu
mengernyit. Matanya membelalak seketika. ia berjalan mundur, menjauh. “Mereka bukan manusia…” serunya dalam
hati.
Ia pergi ke sisi lain. Berjalan ke
arah pasangan yang berada di sisi kirinya. Peluh bercucuran, membasahi dahi
gadis berkulit putih itu. Wanita dengan cat rambut berwarna abu-abu. ditemani
pria berpostur tinggi yang berdiri disebelahnya.
“Hai!” gadis itu berucap, menyapa
pria berpostur tinggi yang dilihatnya. Pria itu samasekali tak melirik padanya.
Dengan menajamkan indra penglihatannya. Ia menyadari sesuatu yang membuatnya
bergidik. “Wanita dan pria itu,
masing-masing dari mereka hanya memiliki satu kaki…” “Apa mereka makhluk halus?
ah, tidak mungkin” “Tapi mereka tidak seperti manusia” “Ah gila…sebenarnya tempat apa ini?”
Gadis itu kembali berdiri ke posisi semula.
Ia berusaha tenang, dan mulai berfikir. mencari jawaban atas semua situasi yang
ia temui.
“Bukankah
aku hanya perlu menemukan Renan? dialah yang mengirim surat itu.” “Dia pasti
punya alasan mengapa aku harus datang ke tempat ini” katanya dalam hati. “Aku harus menemukannya, Renan pasti seorang manusia!”
Gadis itu mengamati sekelilingnya.
“Kaukah itu Renan? Pria berbaju belang yang sibuk memilih buku dan CD” tanyanya dalam hati.
“Tidak… tidak, kurasa bukan dia”
“Kaukah
itu Renan, salah satu dari mereka yang duduk di sofa?”
“Atau… gadis yang disana? dekat pria berbaju belang” “Tidak, tidak, aku
tidak yakin”
Pikirannya benar-benar kacau. Ia
tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dan akhirnya…
“RENAAAAAAN!!!” gadis itu berteriak
keras putus asa. 2 detik musik berhenti kemudian mengalun kembali. Tidak ada
yang berubah kecuali…
Laki-laki yang duduk di sofa tiba-tiba
menoleh. Matanya dan mata gadis itu bertemu. Gadis itu menatapnya lama.
“Aah kau rupanya Renan...” seru gadis
itu “Aku hampir gila, tidak bisa menemukanmu.”
Laki-laki itu beranjak dan mendekat
ke arah gadis yang menatap tajam padanya.
“Bagaimana manusia sepertimu bisa
berbaur dengan banyak hantu disini…” seru gadis itu lagi
“Bodoh, semua yang ada disini
manusia. kecuali kau. Apa kau tidak sadar, mengapa semua orang mengabaikanmu?”
DEG! Gadis itu memandang
sekelilingnya.
“Mereka mungkin sibuk, bahkan kau yang
berbicara dengankupun tidak diperdulikan” timpal gadis itu.
Laki-laki itu menarik nafas dan
membuangnya cepat “Bukan tidak ada yang peduli. tapi kau tidak terlihat”
“Tidak!! Kau sendiri bisa melihatku.
Kau bohong” bantah gadis itu.
Laki-laki itu tersenyum sinis. “Aku
bisa melihat makhluk sepertimu”
“Renan, aku tidak tahu apa maksudmu
mengirimkan surat ini. tempat apa ini? pesta apa? mengapa kau mengancamku untuk
datang ke tempat ini? Jelaskan semuanya padaku!”
“Kurasa Tuhan telah menghapus
ingatanmu.” Laki-laki itu kembali duduk di sofa.
“Renaaaan, please…” gadis itu memelas.
“Aku hanya bisa mengatakan ini. Kau
sudah mati. Aku menyadarinya saat kau datang dan hanya aku yang melihatmu.
Mereka tidak bisa melihatmu.”
“Tapi.. mereka semua aneh. Pasangan
itu, mereka hanya memiliki satu kaki, bahkan perempuan disampingmu pun terlihat
aneh. Semuanya tidak terlihat seperti manusia.”
“Tidak ada yang aneh… kau bilang
pasangan, kau seharusnya tahu, mereka terlahir kembar dan bagian tubuhnya
menempel, perempuan disampingku, dia hanya tertidur.”
“Tidak mungkin” jawab gadis itu tak
percaya
“Aku yang seharusnya bertanya mengapa
kau bisa mati seperti ini? tapi percuma kau tidak ingat apapun bukan?”
“Pergilah aku akan mengumumkan
kematianmu setelah pesta ini berakhir.”
“AKU TIDAK MATI RENAAAAN!” gadis itu
berteriak
Hening.
“Aku bukan Renan” ucap laki-laki
berkaos abu tua itu.
“Jangan bercanda denganku. lantas
siapa Renan?” tanyanya bernada emosi
Laki-laki itu terdiam sesaat kemudian
berkata dengan nada berat “Renan, kumohon, pergilah!”
Gadis itu seketika membeku. Tak percaya
apa yang terjadi. “Aku Renan?” tanya
hatinya
“Seharusnya kau ingat. Ini Pestamu,
pesta yang kau buat sebelum kau pindah ke Eropa. orangtuamu sudah pergi lebih
dulu…” “Kami semua menunggumu bodoh!”
10.45 p.m. Alunan musik sudah tidak
ada. Mereka tampak lelah dan mulai mengeluh, bertanya-tanya kemana perginya si
pengundang pesta yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya “Renan, lucu
sekali… kemana dia?” “Entahlah…” “Jangan-jangan dia sudah pergi ke Eropa” “Hmm…
mungkin” “Dia tak mungkin lupa bukan dengan pestanya?”
Renan terduduk, air matanya menetes.
“Kurasa kau benar, aku sudah mati. Aku
bahkan tidak punya bayangan. Seharusnya aku menyadarinya sejak tadi. Jangan
menungguku, sampaikan itu pada yang lain dan juga terimakasih telah datang”.
Renan pergi.
Langkah kaki membawanya menuju tempat
dimana ia membaca surat itu.
Suara sirine ambulans terdengar
jelas. Bus dan beberapa kendaraan terlihat hancur. Pecahan kaca kendaran
bertebaran dimana-mana. Tetesan darah, tidak… bukan sekedar tetesan darah. Orang-orang
berlari kesana kemari membantu petugas medis yang kewalahan, petugas kepolisian
juga terlihat sibuk. Dengan langkah lemah, Renan mendekati para korban yang
masih tergeletak di jalan. Ia tersenyum setelah menemukan jasadnya yang tak
berdaya. Petugas medis berlari mendekati jasad Renan.
“Biarkan aku. Pria didekat garis
polisi, dia membutuhkan pertolonganmu” Renan berbisik pada petugas medis itu.
Entah benar terdengar atau tidak
suaranya. Petugas medis meninggalkan jasad Renan dan berlari ke arah pria yang
tergeletak di dekat garis polisi.
“Aah jadi ini akhir hidupku. Benar
juga, aku akan mati menyesal jika tidak datang ke pesta itu. Kau pintar Renan, menulis
surat untuk dirimu sendiri. Tapi percuma aku tak ingat apapun”
Renan melangkah pergi. Seberkas
cahaya seakan melahapnya dan membuatnya hilang.
Comments
Post a Comment